Di pagi hari yang cerah, Rasulullah Saw. bersama istrinya (Aisyah r.a.)
hendak melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Di jalan, mereka
melihat seorang bocah murung di tengah kerumunan anak-anak yang ceria
merayakan datangnya Idul Fitri. Bocah murung tersebut terlihat termenung
dengan penampilan kucel dan pakaian lusuh.
Rasulullah Saw. (yang
tidak tega melihat bocah tersebut) mendekat seraya berkata (sambil
mengusap kepala sang bocah), “Wahai bocah, kenapa wajahmu tampak
bersedih padahal disekelilingmu banyak anak-anak yang begitu bahagia
merayakan Idul Fitri?” Bocah tersebut diam sejenak dan meneteskan air
matanya sebelum menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana diriku tak
bersedih? Ketika teman-temanku bergembira ria merayakan Idul Fitri, aku
tidak punya siapa-siapa. Wahai Rasulullah, aku hanyalah sebatangkara.
Aku tak memiliki ibu yang dijadikan tempat mengadu. Ayahku pun sudah
tiada. Hidupku tak menentu. Aku hanya mengharapkan belas kasihan Allah
sebagai Tuhan pemberi rezeki. Terkadang aku tak mendapatkan makanan satu
atau dua hari. Aku hanya mengharapkan uluran tangan para dermawan untuk
mendapatkan sesuap makanan.”
Mendengar rintihan hati sang bocah,
Rasulullah berkata sambil meneteskan air mata, “Wahai anak yang malang,
maukah engkau tinggal bersama kami? Maukah engkau aku jadikan sebagai
anakku? Dan maukah engkau menjadikan Ummul Mukminin sebagai ibumu?”
Mendengar jawaban Rasulullah, spontan bocah tersebut berubah wajahnya
menjadi berseri-seri. Harapan hidupnya sudah terbuka. Dirinya tidak
merasa sendiri lagi. Bergantilah air mata sedih menjadi air mata
kegembiraan.
***
Sebagai agama yang mengusung nilai-nilai
keadilan, Islam tidak menghendaki penganutnya mengabaikan keberadaan
anak yatim. Ia adalah aset umat yang harus diselamatkan dan dipelihara
agar tidak menderita. Allah telah menyiapkan kemuliaan di dunia dan
kebahagiaan di akhirat bagi orang yang merawat anak-anak malang ini.
Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Aku dan orang-orang yang menanggung
anak yatim, berada di surga seperti ini (lalu beliau mengacungkan jari
telunjuk dan jari tengahnya, seraya memberi jarak keduanya).” (H.R.
Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Dalam Al-Quran, banyak sekali
ayat-ayat yang menganjurkan untuk memperhatikan anak yatim. Dari mulai
anjuran untuk memperlakukan dengan lembut, menyisihkan harta, mendidik,
hingga merawat serta membesarkan mereka.
Pada
masa Rasulullah Saw, seperti yang diceritakan oleh Abu Daud, ada salah
seorang sahabat yang memelihara anak yatim. Saking hati-hatinya, sahabat
tersebut sampai-sampai memisahkan antara makanan dan minuman untuk
keluarganya dengan makanan dan minuman untuk anak yatim yang diasuhnya
karena khawatir kalau-kalau ada jatah (anak yatim) yang termakan oleh
keluarganya. Jika makanan anak yatim asuhanya bersisa, dibiarkanya
makanan tersebut sampai busuk karena ia takut akan ancaman Allah jika
memakannya. Ia pun kemudian menghadap Rasulullah dan menanyakan masalah
tersebut. Maka turunlah ayat ke-220 surat Al-Baqarah.
“...Dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: ‘Mengurus
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka,
maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat
kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jika Allah menghendaki,
niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’”
Ayat ini menjadi isyarat
bahwa anak yatim harus diposisikan seperti halnya keluarga. Ketika
anak-anak kita makan, maka ajaklah anak yatim (yang diasuh) untuk makan
bersama. Mengenai larangan memakan harta anak yatim dalam Al-Quran, hal
tersebut berlaku ketika kita mengasuh anak yatim yang diwarisi harta
agar kita tidak mememanfaatkan harta tersebut untuk kepentingan pribadi.
Inilah yang dimaksud memakan harta anak yatim secara zalim yang
disebutkan Al-Quran surat An-Nisa ayat ke-10.
Kemudian muncul
pertanyaan, bagaimana jika orang yang memelihara anak yatim itu hidupnya
serba kekurangan alias miskin? Dalam sebuah hadits, seorang sahabat
bertanya kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah, aku ini orang yang miskin,
dan di rumahku tinggal bersama kami seorang anak yatim, bolehkah aku
makan harta dari anak itu?” Rasulullah Saw. menjawab, “Makanlah dari
harta anak yatim itu secukupnya, jangan berlebih-lebihan, jangan
memubazirkan, jangan hartamu dicampurkan dengan harta anak yatim itu.”
(H.R. Abu Daud, Nisa’i, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Pemeliharaan dan
pembinaan anak yatim bukan hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat
fisik semata, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Pembinaan yang
dilakukan juga harus memperhatikan masalah psikisnya, seperti memberikan
perhatian, kasih sayang, perlakuan lemah lembut, bimbingan akhlak, dan
lain sebagainya. Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman,
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9)
Dalam ayat lain ditegaskan,
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (Q.S. Al-Maa’uun [107]: 1-2)
Artinya,
kewajiban memberikan kasih sayang, pengajaran sopan santun, dan segala
perlakuan yang baik berbanding lurus dengan kewajiban pemberian materi.
Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita tentang etika berinteraksi
dengan anak yatim.
Berbahagialah orang-orang yang di rumahnya
terdapat anak yatim karena Rasulullah memberikan jaminan pertama,
memiliki pahala yang setaraf dengan jihad. Rasulullah Saw. pernah
bersabda, “Barang siapa yang mengasuh tiga anak yatim, maka bagaikan
bangun pada malam hari dan puasa pada siang harinya, dan bagaikan orang
yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedangnya untuk berjihad di
jalan Allah. Dan kelak di surga bersamaku bagaikan saudara, sebagaimana
kedua jari ini, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.” (H.R. Ibnu Majah)
Kedua,
mendapat perlindungan di hari kiamat. Rasulullah Saw. bersabda, “Demi
Allah yang mengutusku dengan kebenaran, di hari kiamat Allah Swt. tidak
akan mengazab orang yang mengasihi anak yatim, dan bersikap ramah
kepadanya, serta bertutur kata yang manis. Dia benar-benar menyayangi
anak yatim dan memaklumi kelemahannya, dan tidak menyombongkan diri pada
tetangganya atas kekayaan yang diberikan Allah kepadanya.” (H.R.
Thabrani)
Ketiga, masuk surga dengan mudah. Rasulullah Saw.
bersabda, “Barang siapa yang memelihara anak yatim di tengah kaum
muslimin untuk memberi makan dan minum, maka pasti Allah memasukkannya
ke dalam surga, kecuali jika ia telah berbuat dosa yang tidak dapat
diampuni.” (H.R. Tirmidzi)
Itulah tiga keutamaan orang yang
memelihara anak yatim. Semoga hal tersebut dapat membuat kita terus
menerus termotivasi untuk selalu memelihara anak yatim. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar