Di pagi hari yang cerah, Rasulullah Saw. bersama istrinya (Aisyah r.a.) hendak melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Di jalan, mereka melihat seorang bocah murung di tengah kerumunan anak-anak yang ceria merayakan datangnya Idul Fitri. Bocah murung tersebut terlihat termenung dengan penampilan kucel dan pakaian lusuh.

Rasulullah Saw. (yang tidak tega melihat bocah tersebut) mendekat seraya berkata (sambil mengusap kepala sang bocah), “Wahai bocah, kenapa wajahmu tampak bersedih padahal disekelilingmu banyak anak-anak yang begitu bahagia merayakan Idul Fitri?” Bocah tersebut diam sejenak dan meneteskan air matanya sebelum menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana diriku tak bersedih? Ketika teman-temanku bergembira ria merayakan Idul Fitri, aku tidak punya siapa-siapa. Wahai Rasulullah, aku hanyalah sebatangkara. Aku tak memiliki ibu yang dijadikan tempat mengadu. Ayahku pun sudah tiada. Hidupku tak menentu. Aku hanya mengharapkan belas kasihan Allah sebagai Tuhan pemberi rezeki. Terkadang aku tak mendapatkan makanan satu atau dua hari. Aku hanya mengharapkan uluran tangan para dermawan untuk mendapatkan sesuap makanan.”

Mendengar rintihan hati sang bocah, Rasulullah berkata sambil meneteskan air mata, “Wahai anak yang malang, maukah engkau tinggal bersama kami? Maukah engkau aku jadikan sebagai anakku? Dan maukah engkau menjadikan Ummul Mukminin sebagai ibumu?” Mendengar jawaban Rasulullah, spontan bocah tersebut berubah wajahnya menjadi berseri-seri. Harapan hidupnya sudah terbuka. Dirinya tidak merasa sendiri lagi. Bergantilah air mata sedih menjadi air mata kegembiraan.

***

Sebagai agama yang mengusung nilai-nilai keadilan, Islam tidak menghendaki penganutnya mengabaikan keberadaan anak yatim. Ia adalah aset umat yang harus diselamatkan dan dipelihara agar tidak menderita. Allah telah menyiapkan kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bagi orang yang merawat anak-anak malang ini. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Aku dan orang-orang yang menanggung anak yatim, berada di surga seperti ini (lalu beliau mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, seraya memberi jarak keduanya).” (H.R. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Dalam Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan untuk memperhatikan anak yatim. Dari mulai anjuran untuk memperlakukan dengan lembut, menyisihkan harta, mendidik, hingga merawat serta membesarkan mereka.



Pada masa Rasulullah Saw, seperti yang diceritakan oleh Abu Daud, ada salah seorang sahabat yang memelihara anak yatim. Saking hati-hatinya, sahabat tersebut sampai-sampai memisahkan antara makanan dan minuman untuk keluarganya dengan makanan dan minuman untuk anak yatim yang diasuhnya karena khawatir kalau-kalau ada jatah (anak yatim) yang termakan oleh keluarganya. Jika makanan anak yatim asuhanya bersisa, dibiarkanya makanan tersebut sampai busuk karena ia takut akan ancaman Allah jika memakannya. Ia pun kemudian menghadap Rasulullah dan menanyakan masalah tersebut. Maka turunlah ayat ke-220 surat Al-Baqarah.

“...Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’”

Ayat ini menjadi isyarat bahwa anak yatim harus diposisikan seperti halnya keluarga. Ketika anak-anak kita makan, maka ajaklah anak yatim (yang diasuh) untuk makan bersama. Mengenai larangan memakan harta anak yatim dalam Al-Quran, hal tersebut berlaku ketika kita mengasuh anak yatim yang diwarisi harta agar kita tidak mememanfaatkan harta tersebut untuk kepentingan pribadi. Inilah yang dimaksud memakan harta anak yatim secara zalim yang disebutkan Al-Quran surat An-Nisa ayat ke-10.

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika orang yang memelihara anak yatim itu hidupnya serba kekurangan alias miskin? Dalam sebuah hadits, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah, aku ini orang yang miskin, dan di rumahku tinggal bersama kami seorang anak yatim, bolehkah aku makan harta dari anak itu?” Rasulullah Saw. menjawab, “Makanlah dari harta anak yatim itu secukupnya, jangan berlebih-lebihan, jangan memubazirkan, jangan hartamu dicampurkan dengan harta anak yatim itu.” (H.R. Abu Daud, Nisa’i, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Pemeliharaan dan pembinaan anak yatim bukan hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat fisik semata, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Pembinaan yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah psikisnya, seperti memberikan perhatian, kasih sayang, perlakuan lemah lembut, bimbingan akhlak, dan lain sebagainya. Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman,
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9)

Dalam ayat lain ditegaskan,
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (Q.S. Al-Maa’uun [107]: 1-2)

Artinya, kewajiban memberikan kasih sayang, pengajaran sopan santun, dan segala perlakuan yang baik berbanding lurus dengan kewajiban pemberian materi. Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita tentang etika berinteraksi dengan anak yatim.

Berbahagialah orang-orang yang di rumahnya terdapat anak yatim karena Rasulullah memberikan jaminan pertama, memiliki pahala yang setaraf dengan jihad. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Barang siapa yang mengasuh tiga anak yatim, maka bagaikan bangun pada malam hari dan puasa pada siang harinya, dan bagaikan orang yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedangnya untuk berjihad di jalan Allah. Dan kelak di surga bersamaku bagaikan saudara, sebagaimana kedua jari ini, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.” (H.R. Ibnu Majah)

Kedua, mendapat perlindungan di hari kiamat. Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah yang mengutusku dengan kebenaran, di hari kiamat Allah Swt. tidak akan mengazab orang yang mengasihi anak yatim, dan bersikap ramah kepadanya, serta bertutur kata yang manis. Dia benar-benar menyayangi anak yatim dan memaklumi kelemahannya, dan tidak menyombongkan diri pada tetangganya atas kekayaan yang diberikan Allah kepadanya.” (H.R. Thabrani)

Ketiga, masuk surga dengan mudah. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang memelihara anak yatim di tengah kaum muslimin untuk memberi makan dan minum, maka pasti Allah memasukkannya ke dalam surga, kecuali jika ia telah berbuat dosa yang tidak dapat diampuni.” (H.R. Tirmidzi)

Itulah tiga keutamaan orang yang memelihara anak yatim. Semoga hal tersebut dapat membuat kita terus menerus termotivasi untuk selalu memelihara anak yatim. Amin.



Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا »  وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً
Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang yang mengasuh anak yatim.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
  • Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[2].
  • Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar[3].
  • Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa[4].
  • Keutamaan dalam hadits ini belaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu[5].
  • Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya[6].
  • Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:
1. Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ}
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (QS al-Ahzaab: 5).
2. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia[7].
3. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram[8], sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
 وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 12 Muharram 1433 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA



[1] HSR al-Bukhari (no. 4998 dan 5659).
[2] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (14/41) dan “Tuhfatul ahwadzi” (6/39).
[3] Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113).
[4] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/689).
[5] Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113) dan “Faidhul Qadiir” (3/49).
[6] Ibid.
[7] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 3778), lihat juga kitab “Tafsir al-Qurthubi” (14/119).
[8] Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang mubah (diperbolehkan dalam agama). Lihat kitab “Fathul Baari” (4/77).
ANAK yatim adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya selagi ia belum mencapai umur balig. Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus dari Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar jangan sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang menyatakan betapa mulianya orang yang mau memelihara anak yatim atau menyantuninya. Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum begitu mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat Islam yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat Islam dan bahkan selain umat Islam.
Di Indonesia, khususnya di desa-desa, sampai sekarang kebiasaan memberi uang ala kadarnya pada tanggal 10 Muharam kepada anak yatim masih berlaku. Pada setiap tanggal 10 Muharam, anak-anak yatim bergerombol-gerombol mendatangi rumah-rumah orang kaya atau para dermawan. Di situ mereka memperoleh pembagian uang. Kebiasaan demikian sungguh amat terpuji, tetapi apakah para anak yatim hanya butuh bantuan sekali itu?
Tentunya tidak. Mereka membutuhkan bimbingan sampai dirinya mampu mengarungi bahtera kehidupannya sendiri. Betapa mulianya orang yang mau berbuat demikian, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Saya yang menanggung (memelihara) anak yatim dengan baik ada di surga bagaikan ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan Beliau rentangkan kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).
Allah sendiri berfirman yang artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa besar (An-Nisaa:2).
Anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia masih kecil bukanlah termasuk anak yatim. Sebab bila kita lihat arti kata yatim sendiri ialah kehilangan induknya yang menanggung nafkah. Di dalam Islam yang menjadi penanggung jawab urusan nafkah ini ialah ayah, bukan ibu. Alquran telah menjelaskan adanya larangan memakan harta anak yatim dengan cara lalim sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara lalim. Sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepuluh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (An-Nisaa: 10).
Ismail bin Abdurrahman berkata, “Pemakan harta anak yatim dengan lalim itu besok di hari kiamat akan dikumpulkan dan di waktu itu keluarlah api yang menyala-nyala dari mulutnya, telinganya dan matanya sehingga semua orang mengenalnya bahwa ia sebagai pemakan harta anak yatim.”
Para ulama berkata, bagi setiap wali anak yatim bilamana ia dalam keadaan fakir diperbolehkan baginya memakan sebagian anak yatim dengan cara ma’ruf (baik) menurut sekadar kebutuhannya saja demi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhannya tidak boleh berlebih-lebihan dan jika berlebih-lebihan akan menjadi haram. Menurut Ibnul Jauzi dalam menafsirkan “bil ma’ruf” ada 4 jalan yaitu, pertama, mengambil harta anak yatim dengan jalan kiradl. Kedua, memakannya sekadar memenuhi kebutuhan saja. Ketiga, mengambil harta anak yatim hanya sebagai imbalan, apabila ia telah bekerja untuk kepentingan mengurus harta anak yatim itu, dan keempat, memakan harta anak yatim tatkala dalam keadaan terpaksa, dan apabila ia telah mampu, harus mengembalikan dan jika ia benar-benar tidak mampu hal tersebut dihalalkan.
Kecuali mengancam orang yang merugikan harta anak yatim, Allah juga akan mengangkat derajat orang-orang yang suka menyantuni anak yatim; sebagaimana sabda Nabi, “Barang siapa yang menanggung makan dan minum (memelihara) anak yatim dari orang Islam, sampai Allah SWT mencukupkan dia, maka Allah mengharuskan ia masuk surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak terampunkan” (H.R. Turmudzi).
Dari hadis ini, memberikan jaminan bagi orang-orang yang mau mengasuh anak yatim akan memperoleh imbalan pahala dari Allah SWT, berupa surga yang disejajarkan dengan surga Nabi saw., kecuali ia melakukan dosa-dosa yang tidak terampunkan oleh Allah SWT. Demikianlah kewajiban kita sebagai umat Islam dalam menyantuni anak yatim.
Teguran Allah Swt. terhadap orang-orang yang mengukur kemuliaan dan kehinaan dengan tolok ukur materi, diikuti dengan teguran-Nya atas sikap individualistis dan mementingkan diri sendiri terdapat dalam surat al-Fajr ayat 17. Salah satu masalah utama yang dicela adalah tidak peduli terhadap anak yatim dan tidak memuliakannya.

Allah berfirman; 
“Tidak sekali-kali, bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.” (QS Al Fajr, 89:17)

Anak-anak yatim merupakan salah satu pos untuk kepedulian dan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Ibnu Katsir memahami ayat ini sebagai perintah dari Allah Swt. untuk memuliakan anak yatim walaupun pernyataan firman-Nya sendiri dengan kalimat negasi dan pengingkaran. (tafsir Ibnu Katsir: 4/473).

Islam memotivasi setiap mukmin untuk memberikan kontribusi maksimal kepada umat dan orang lain. Islam sangat mencela orang yang hanya  berfikiran sempit dengan mementingkan kebutuhan pribadi dan tidak peduli dengan kebutuhan orang lain. Riwayat yang mauquf dan lemah menyatakan; “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah dari golongan mereka” (Abu Nu’aim dll), sangat masyhur menjadi stigma dan aib bagi orang yang cuek dan acuh tak acuh terhadap permasalahan dan musibah yang menimpa umat. Sebaliknya Islam sangat memuji orang yang dermawan, peduli, responsip terhadap problematika umat dan orang lain. Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda; “sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (al-hadits, lemah riwayat Thabrani)

Teguran Allah tersebut tertuju kepada orang-orang yang bersikap individualistis dan tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain khususnya anak yatim. Teguran ini menurut Imam As-Sa’di sebagai koreksi atas prinsip hidup yang lemah dan individualistis. Beliau berkata; “sesungguhnya perhatian orang yang terbatas pada lingkup kebutuhannya sendiri merupakan tanda-tanda ketakberdayaan dan kelemahannya. Orang semacam ini sangat dicela dan dihina oleh Allah Swt. karena tidak memperhatikan kebutuhan makhluk lain dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan”. (Taisirul Karimir Rahman: 1111)

Islam yang agung dan universal menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi. Islam mengajarkan untuk menyayangi mereka dan  melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka. Banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an dan hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang berbuat baik dan memuliakan anak yatim. Diantaranya; 

 “Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak dan kaum kerabat serta anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” (QS Al Baqoroh,2:83)
 “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” (Al Baqoroh,2:177)
 “Katakanlah, “Apa saja harta benda (yang halal) yang kamu infakkan, maka berikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat dan anak-anak yatim.” (QS Al Baqoroh,2:215)
 “Dan mereka bertanya kepadamu mengenai anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan anak-anak yatim itu amat baik bagimu.” (QS Al Baqoroh,2:220
“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dan kaum kerabat dan anak-anak yatim.” (QS An Nisaa,4:127)

Sedangkan dalam sunnah digambarkan  betapa perhatian Nabi s.a.w. sangat besar sekali terhadap yatim piatu. Beliau prihatin, melindungi, dan menjamin keperluan hidup mereka, dan selalu dipesankan dan dianjurkan kepada umatnya dalam tiap keadaan. "Aku dan pemelihara anak yatim, akan berada di surga kelak", sambil mengisyaratkan dan mensejajarkan kedua jari tengah dan telunjuknya. (H.R. Bukhari) Dalam hadis yang lain baginda s.a.w. bersabda "Sebaik-baik rumah tangga muslim ialah yang di dalamnya ada anak yatim yang dilayani dengan baik" (H.R. Ibnu Majah) 


Imam As-Sa’di menjelaskan; “yatim adalah orang yang telah tiada ayahnya dan penanggung hidupnya, ia sangat membutuhkan pengayoman dan perbuatan baik dari orang lain”. (Taisirul Karimir Rahman: 1111) Tentu tidak semua anak yatim hidup dalam kemiskinan, bahkan tidak sedikit yang kaya raya, menerima warisan dari orang tuanya. 

Maka cara memuliakan anak yatim seperti yang disebutkan oleh As-Syaukani paling ada dua bentuk;
a. Anak yatim kaya.
Cara memuliakannya adalah dengan menumbuhkan dan mengembangkan harta anak yatim tersebut dengan penuh amanah, tanggung jawab, dan kasih sayang. Bila orang yang mengurus usaha anak yatim tersebut dalam kaya, maka ia tidak boleh memakan dari harta anak yatim tersebut, namun bila yang mengurusnya fakir, boleh memakan seperlunya dan dengan ukuran kebiasaan. (QS. An-Nisa’: 6) 
b. Anak yatim fakir.
Menyantuni, mengasuhnya dan mencukupi kebutuhannya. (tafsir Fathul Qodir: 5/543) 

Sungguh mulia balasan bagi pengasuh anak yatim. Rasulullah Saw. bersabda; “sebaik-baik rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim dan diasuh dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim, namun diasuh dengan buruk. Kemudian beliau menunjukkan dengan jari tengah dan telunjuknya sambil bersabda; “aku dan pengasuh anak yatim seperti ini di surga”. (HR. Abu Daud) 

Dalam  riwayat yang lain disebutkan ''Bila engkau ingin agar hati menjadi lembut dan damai dan Anda mencapai keinginanmu, sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah dia makanan seperti yang engkau makan. Bila itu engkau lakukan, hatimu akan tenang serta lembut dan keinginanmu akan tercapai. (HR Thabrani).

Hadis tersebut memberikan petunjuk kepada umat Islam bahwa salah satu sarana untuk menenangkan batin dan mendamaikan hati ini adalah mendekati anak yatim, terlebih yatim piatu. Mengusap kepala mereka dan memberinya makan minum merupakan simbol kepedulian dan perhatian serta tanggung jawab terhadap anak yatim/piatu.

Berbuat baik terhadap anak yatim/piatu bukanlah sekadar turut membantu menyelesaikan lapar dan dahaga sosialnya. Tetapi, di sisi lain perbuatan itu merasuk ke dalam batin, menenteramkan hati, dan mendamaikan perasaan orang yang memberi perhatian kepada mereka. Berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi banyak membicarakan betapa mulianya kedudukan anak yatim/piatu dalam pandangan Allah SWT.

Di dalam surat Ad-Dhuha ayat 9, Allah SWT melarang keras dari sikap melakukan kekerasan kepada anak yatim/piatu. Firman Allah SWT: ''Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.'' Anak yatim yang ditinggal wafat oleh ayahnya dan yatim piatu yang ditinggalkan ayah-ibunya, mendambakan belaian dan kasih sayang dari orang lain. Baik keluarga terdekat maupun dari yang lainnya. Orang yang menenangkan hati dan perasaan anak yatim, ia pun akan memperoleh balasan seperti itu pula, yakni ketenangan batin.

Secara singkat dari penelusurian ajaran Islam, kita mendapatkan ajaran yang sangat agung dan mulia berkenaan dengan  anak yatim.

Pertama, berbuat baik kepada anak yatim adalah amalan sangat utama. (QS al-Baqarah [2]: 177). Sebelum Islam datang, anak yatim tak mendapatkan perhatian apalagi santunan yang layak. Lalu, Islam memuliakannya dan melarang untuk mengeksploitasinya. (QS al-An'am: 152-153, al-Isra: 34). Memakan harta anak yatim merupakan salah satu dosa besar dan penyebab masuk neraka. Rasul SAW bersabda, "Jauhilah tujuh dosa besar, yakni menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina wanita mukmin yang lalai." (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, Alquran melarang penghinaan dan menyakiti anak yatim. (QS al-Fajr: 15-23, adh-Dhuha; 9, al-Ma'un: 1-3). 
Ketiga, Alquran memerintahkan supaya kita memuliakan anak yatim dan balasannya adalah surga. (QS al-Insan: 8-22). 
Keempat, Islam menegaskan bahwa penyantun dan penjamin anak yatim akan menjadi teman dekat Rasulullah di surga. ( HR Bukhari dan Ahmad).
Kelima, rumah terbaik adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan, dan sejelek-jelek rumah adalah rumah yang ada anak yatim, namun dihinakan. 
Dengan demikian kita wajib menyantuni anak yatim dan memperhatikan hak-hak mereka bukan saja aspek material tapi juga aspek pendidikan, ekonomi, sosial, spiritual, dan lain.